Rabu, 15 April 2020

Pada lain waktu, aku membawa anak rimba ke kota. Mereka membuat analisis dahsyat dan mengajukan pertanyaan yang menakjubkan. "Ibu Guru, bukankan orang-orang di Jakarta sekolah semua? Kenapa sungai-sungainya kotor?"

"Kenapa di kota ini banyak mobil dikasih rumah, padahal ada banyak orang di sana yang nggak punya rumah dan tinggal di timpukan sampah dan di bawah jembatan?"

"Kenapa setiap orang di kota punya barang-barang banyak sekali?"  (Saat melihat mesin khusus blender buah dan cabai  food processor, pisau khusus potong daging dan bawang, gunting rambut, dan macam-macam alat menicure yang khusus buat kuku.) 

Atau saat melihat kemacetan, "Kenapa ada mobil yang kosong dan ada yang sangat penuh? Kenapa mereka nggak pindah ke mobil yang kosong? Kenapa banyak mobil berhenti?Mari kita dorong mobil yang paling depan! Kenapa bisa terjadi macet dan kenapa orang mau berada dikemacetan?" Mendengar pernyataan bertubi-tubi tersebut membuat kepala ini pusing.

Melihat cara berpikir mereka yang demikian bisa menjadi peringatan bagi kita. Setiap kali kita akan membuat kesimpulan tentang mereka, pikir lagi soal bagaimana sebenarnya mereka memandang kita supaya kita tidak pongah berpikir bahwa mereka selalu sependapat dengan kita. Inilah yang disebut dengan relativisme kebudayaan. Tidak ada penelitian tunggal dalam menilai suatu budaya tetapi harus dilihat dalam konteks budaya itu sendiri.

- Melawan Setan Bermata Runcing, Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola (hal 129-130)

Minggu, 05 April 2020

".... Lima syarat yang ada pada satria Jawa : wisma, wanita, turangga, kukila dan curiga. Bisa mengingat?...... Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. ... Kedua wanita, Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus persiapkan..... Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan,kemampuan, keterampilan kebiasaan, keahlian, dan akhir-akhirnya-- kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu. ...... Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu, Gus, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan.... Jangan pungkiri yang lima itu. Setiap daripadanya adalah tanda-tandamu sendiri." - Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Noer (hal 465)
"..... Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu. ..... Aku anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik daripada hakimnya sendiri." -Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Noer (hal 77)

"..... Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit dipahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri."  -Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Noer (hal 189)

"Aku tak pernah bersekolah, Nak, Nyo, tak pernah diajar mengagumi orang Eropa. Biar kau belajar sampai puluhan tahun, apa pun yang kau pelajari, jiwanya sama : mengagumi mereka tanpa habis-habisnya, tanpa batas, sampai-sampai orang tak tahu lagi dirinya sendiri siapa dan dimana. Biar begitu masih beruntung yang bersekolah. Setidak-tidaknya orang dapat mengenal bangsa lain yang punya cara-cara tersendiri dalam merampas milik bangsa lain."  -Novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Noer (hal 500)