"Kenapa di kota ini banyak mobil dikasih rumah, padahal ada banyak orang di sana yang nggak punya rumah dan tinggal di timpukan sampah dan di bawah jembatan?"
"Kenapa setiap orang di kota punya barang-barang banyak sekali?" (Saat melihat mesin khusus blender buah dan cabai food processor, pisau khusus potong daging dan bawang, gunting rambut, dan macam-macam alat menicure yang khusus buat kuku.)
Atau saat melihat kemacetan, "Kenapa ada mobil yang kosong dan ada yang sangat penuh? Kenapa mereka nggak pindah ke mobil yang kosong? Kenapa banyak mobil berhenti?Mari kita dorong mobil yang paling depan! Kenapa bisa terjadi macet dan kenapa orang mau berada dikemacetan?" Mendengar pernyataan bertubi-tubi tersebut membuat kepala ini pusing.
Melihat cara berpikir mereka yang demikian bisa menjadi peringatan bagi kita. Setiap kali kita akan membuat kesimpulan tentang mereka, pikir lagi soal bagaimana sebenarnya mereka memandang kita supaya kita tidak pongah berpikir bahwa mereka selalu sependapat dengan kita. Inilah yang disebut dengan relativisme kebudayaan. Tidak ada penelitian tunggal dalam menilai suatu budaya tetapi harus dilihat dalam konteks budaya itu sendiri.
- Melawan Setan Bermata Runcing, Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola (hal 129-130)